15.7.08

KAPASITAS AKAL


Islam merupakan agama Samawi yang amat peka terhadap kebutuhan umatnya, sehingga apapun itu bentuk kebutuhanya, islam telah memberikan solusi dalam bentuk peratuan-peraturan yang terbaik di mana tujuan utama dari adanya peraturan yang ada dalam islam yaitu ”Dar’ul mafasid wa Jalbul masholih” yaitu mecegah kerusakan dan menarik pada kemaslahatan (kebaikan), untuk menunjang itu islam mencoba untuk bersikap lentur dan flexibel, hal itu terbukti dengan adanya kebebasan berpandapat dan berfikir demi menghidupkan dan mengembangkan fasilitas yang telah di anugerahkan Allah Swt kepada manusia yang berupa “Akal”. karena dengan Akal itulah yang ternyata manusia menjadi satu-satunya makhluk yang dipercaya untuk menjadi kholifah di Bumi dengan harapan kesejahteraan dan kelestrian bumi dapat terjaga.
Kebebasan untuk mengoperasikan dan mengoptimalkan Akal itu telah mendapatkan jaminan dari Allah sendiri dengan bukti sindiran-sindiran Allah dalam firmanya ”afala ta’qilun” apakah kalian tidak ber akal? “afala tatafakkarun” apakah kalian tidak berfikir? ”afala tatadabbarun” apakah kalian tidak mempertimbangkan? dan yang lain seperti yang di sebutkan dalam surat Al-Ghosyiah ayat 17-20 yang artinya ”maka apakah mereka tidak memperhatikan Unta bagaimana dia di ciptakan? dan Gunung-Gunung bagaimana ia di tegakan? dan Bumi bagaimana ia dihamparkan?”
Namun begitu, manusia tetaplah manusia yang asli fitrahnya adalah mahluk lemah mereka tidak punya daya apapun kecuali daya dari Allah Swt, tidak punya kekuatan apapun kecuali kekuatan dari Allah Swt, Allah maha tahu seberapa kapasitas akal yang telah di anugerahkan pada manusia, oleh karena itu Allah memberi batasan-batasan hal yang perlu di nalar dan hal yang tidak boleh di nalar karena itu bukan kapasitas akal, dalam hadis nabi di sebutkan ”tafakkaru fi kholqillah wala tafakkaru fillah fatahliku” berfikirlah kalian semua tentang makhluq ciptaan Allah dan jangan kalian semua memikirkan tentang Allah (dzat) maka (jika kalian memikirkan dzatnya allah) kalian akan rusak (binasa)
Pada dasarnya luang lingkup yang ada dalam peraturan islam itu di kelompokan menjadi 5 kriteria:
1. Hifdhu Ad-din
2. Hifdhu An-nafsi
3. fdhu Al-mal
4. Hifdhu An-nasli
5. fdhu Al-‘irdzi

Hifdhu Ad-din secara bahasa adalah menjaga atau mempertahankan agama, artinya islam sangat menjunjung tinggi terhadap nilai keutuhan umat dengan menumbuhkan rasa nasionalisme tinggi terhadap agama dan bangsa, sehigga hal-hal yang dapat mempengaruhi terhadap keutuhan islam sangat di perhatikan, demi menumbuhkan rasa nasionalisme itu islam membuat peraturan Jihadperang) bagi siapa saja yang mencoba untuk memperkeruh keutuhan ummat, karena islam sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan kesatuan dan islam juga merupakan agama yang mulya dan tidak ada yang lebih mulya dari islam ”al islamu ya’lu wala yu’la ‘alaihi
Hifdhu An-nafsi artinya menjaga dan mempertahankan jiwa, Setiap manusia di beri kebebasan dan di beri hak untuk melindungi diri dari berbagai macam bentuk uaha-usaha yang dapat melukai dirinya maupun orang yang menjadi tanggunganya (istri, anak, budak dan yang menjadi tanggunganya) untuk itu dalam islam dibuat aturan seperti Ash-shiyal (melindungi diri dari ancaman orang yang akan melukai atau membunuh meskipun dengan cara membunuh orang itu)
Hifdhu Al-mal artinya melindungi dan menjaga harta kekayaan dari ulah jahil pihak lain. Begitu pedulinya islam terhadap keutuhan umat, islam memberikan hak pada masing-masing untuk mempertahankan segala apa yang ada dalam genggamanya sehingga diharapkan akan terwujud situasi yang kondusif aman terkandali karena masing-masing merasa punya hak dan kewajiban, untuk mewujudkan itu di berlakukan hukum sanksi bagi yang melanggar diantaranya:
Had Sariqoh (sanksi bagi pencuri) dengan cara potong tangan atau kaki
Had Ikhtilas (sanksi bagi pencopet)
Had Qothi’utthoriq (sanksi bagi penodong)
Ta’zir bagi pelaku Ghoshob dll.
Tentang cara dan bentuk sanksi yang diberikan bagi para pelaku tindak kriminal diatas itu ada beberapa perincian yang telah di sebutkan dalam beberapa kitab fiqih, tidak cukup hanya peraturan tentang sanksi, islam juga telah menerapkan beberapa trik dan cara untuk menjadikan harta menjadi harta yang baik halal dengan cara di buat aturan-aturan infestasi yang baik dan menguntungkan hal itu terbukti dengan adanya aturan-aturan dalam Bai’ (transaksi jual beli), Syirkah (modal bersama atau koperasi), Ijaroh (sewa), Rohn (gadai), Qirodh(tanam modal) dan yang lain-lain.
4 Hifdhu An nasli artinya menjaga keturunan, demi menjaga kelestarian umat di perlukan adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan keberlangsungan atau eksistensi hidup, sebagai makhluq yang di percaya oleh Allah menjadi kholifah di alam Bumi ini perlu kiranya manusia menyadari bahwa populasi sangat di perlukan hal itu semata hanyalah sebagai upaya menjaga amanah dari Allah Swt, untuk mewujudkan itu semua di perlukan adanya peraturan yang menangani masalah itu, dalam islam di berlakukan hukum Nikah lengkap dengan syarat rukun dan yang berkaitan denganya semisal Tholaq (cerai), Ruju’ (kembali pada istri setelah menjatuhkan talaq), Khulu’ (gugatan dari istri minta di cerai suami) Dll seprti larangan Zina, kawin mut’ah (kawin kontrak).
5 fdhu Al-‘irdhi secara bahasa berarti manjaga dan mempertahankan harga diri, artinya setiap orang berhak menjaga dan melindungi harga dirinya dari hal-hal yang tidak menguntungkan terhadap kewibawaan dan harga diri atau yang di istilahkan sebagai Muru’ah karna manusia adalah makhluq yang di beri nilai lebih oleh Allah dan di utamakan sebagaimana yang telah di singgung Allah “Wa laqod karromna bani ‘Adama” dan Aku (Allah) benar-benar telah memulyakan anak Adam(tidak di hukumi najis setelah mereka meninggal) untuk menjaga Muru’ah ini disamping menjauhi segala bentuk larangan dari Allah juga menghindari dari hal-hal yang sekiranya dapat merusak harga diri meskipun itu bukan hal yang di haramkan seperti jalan tidak pakai baju (sudah menutupi batas aurat) memakai pakaian yang bersifat norak dll,kebebasan untuk mempertahankan harga diri ini diperbolehkan selagi tidak melanggar batas-batas syari’at yang telah ditentukan.

Dalam disiplin ilmu Ushul fiqih ditetapkan bahwa penentuan sebuah hukum yang disyariatkan itu terkelompok menjadi dua :
Ta’abbudy
Ta’aqquly

Ta’abbudy ialah doktrin Allah Swt dalam memutuskan suatu permasalahan tanpa bisa di ganggu gugat oleh siapapun, hal semacam itu sangatlah wajar karena Allah swt adalah Dzat yang menciptakan segalanya dan yang memiliki dan menguasai segalanya dan Allah berhak menerapkan apa-apa yang Allah kehendaki tanpa ada campur tangan pihak lain (Qiyamuhu bi Nafsihi) Allah berhak menghalalkan dan mengharamkan segala sesuatu yang dikehendaki (irodah) karena itu merupakan hak preogratif Allah Swt
Namun begitu Allah punya sifat الحكيم artinya “yang bijaksana”, sehingga Allah sangatlah maha tahu tentang kemampuan makhluq ciptaannya dan Allah tidak akan memberatkan jika hal itu diluar kemampuan makhluq sebagaimana yang disinggung Allah dalam surat Al-Baqaoroh ayat 286 yang artinya ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakanya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang di kerjakanya"
Hukum–hukum yang dari unsur Ta’abbudy ini meliputi :
Kewajiban untuk mentauhidkan Allah (dijelaskan dalam usuluddin)
Dasar–dasar islam seperti kewajiban sholat, zakat, puasa, haji, dan tata cara dan batasan–batasannya
Al-hudud (batasan–batasan dalam islam) seperti Had atau sanksi bagi pencuri, pezina, pembunuh, perampok, pemberontak (bughot) murtad (keluar dari islam) peminum khomr Dll
batasan–batasan haram dan halalnya binatang dan makanan
hukum jual beli yang halal dan haram
ketentuan-ketentuan dan hukum nikah
keharaman riba Dll.
Kesemuanya peraturan di atas itu murni dari Allah. Dan akal manusia tidak mampu untuk menjangkaunya. Seandainya bisa itu mungkin sisi kecilnya saja. dan manusia tidak berhak merevisi hukum tersebut. Hal ini sebagai bentuk ujian dari Allah kepada manusia mau menerima atau tidak dan untuk mengetahui siapa yang taat dan patuh dan siapa yang ingkar dan durhaka
Sedangkan Ta’aquliy ialah peraturan dalam islam yang tumbuh dari Ijma’ Ulama’ (kesepakatan para intelektual islam yang telah di akui dan tidak di ragukan keilmuannya oleh seluruh alam). Peraturan–peraturan yang dari produk Ta’aquliy ini berkisar tentang furu’iddin (cabang cabang agama) seperti: Qiyas (penyamaan hukum dari yang far'i pada yang asli di sebabkan adanya tasybbuh(keserupaan)di antara keduanya) tentang ke halalan dan ke haraman hewan yang yang tidak di jelaskan dalam Al–qur’an dan hadits, batasan–batasan haidz, nifas, wiladah. Khilafiyah dalam kaifiyah ibadah (tata cara ibadah) yang kaifiyah itu belum dijelaskan dalam Al–qur’an dan Al–hadits Dll.
Hukum–hukum yang dihasilkan dari Ta’aquly ini sifatnya tidak tetap tidak sama dengan yang dari Ta’abudy, artinya hukum ini bisa berubah–rubah sesuai dengan tuntutan / kondisi karena hukum itu berdasarkan علة atau alasan yang logis, dan jika علة itu tidak ada maka hukumpun menjadi tidak ada seperti contoh :
Jum’ah dalam satu kampung mestinya harus satu (Syafi’iyah) boleh menjadi dua tiga atau berapa itu jika situasi maupun kondisinya tidak memungkinkan untuk menjadi satu seperti : adanya pertikaian diantara kelompok (‘adawah) atau penduduknya terlalu banyak sehingga kapasitas masjid tidak memadahi. (dhiqul maqom) Dan nanti jika kondisi menjadi normal seperti sudah adanya ishlah (damai) maka jama’ah jum’ah harus di satukan sebagai mana yang dikatakan Umar bin Khottob “sholatlah kalian semua di masjid masing – masing dengan jama’ah, namun jika hari jum’at maka sholatlah kalian semua di belakang imam yang satu”. Artinya jika jum’ah harus kumpul jadi satu. dalam disiplin ilmu Qowa’idul fiqhiyah di ikutkan kaidah “hukum itu berputar sesuai dengan علة nya, jika ada علة berarti ada hukum(ma’lul) jika tidak ada علة berarti tidak ada hukum(ma’lul)” dan juga kaidah lain : اذازالت العلة زال المعلول
jika علة hilang maka yang di illati (dialasi) juga hilang.
Dari kedua faktor diatas kiranya perlu disadari bahwa jika adanya hukum itu bisa dijangkau oleh akal maka ketentuan itu boleh di telusuri dan jika itu di luar dari kemampuan akal maka harus diterima dangan lapang dada sebagai bukti pengabdian hamba terhadap Allah dan manusia tidak berhak menentang dan mengabaikan ketentuan-ketentuan Allah dan memasuki wilayah Allah. Wallahu A’lam Subhanallah Walillahi Al-Hamdu

Islam merupakan agama Samawi yang amat peka terhadap kebutuhan umatnya, sehingga apapun itu bentuk kebutuhanya, islam telah memberikan solusi dalam bentuk peratuan-peraturan yang terbaik di mana tujuan utama dari adanya peraturan yang ada dalam islam yaitu ”Dar’ul mafasid wa Jalbul masholih” yaitu mecegah kerusakan dan menarik pada kemaslahatan (kebaikan), untuk menunjang itu islam mencoba untuk bersikap lentur dan flexibel, hal itu terbukti dengan adanya kebebasan berpandapat dan berfikir demi menghidupkan dan mengembangkan fasilitas yang telah di anugerahkan Allah Swt kepada manusia yang berupa “Akal”.

Tidak ada komentar: